Suasana seketika lengang.
Riuh pemuda desa yang sejak sore tadi bercengkrama dengan
bendera-bendera kecil di jalan telah menghilang. Sunyi, suasana malam 17
Agustus yang cukup malang. Malam yang seharusnya penuh dengan euphoria hari
kemerdekaan ini tak lagi antusias diikuti. Entah apa yang membuat pemuda zaman
sekarang cukup enggan memaknai hari kemerdekaan. Barang kali kemajuan zaman atau
perkembangan teknologi? Entahlah.
Di luar, langit tampak pekat diselimuti awan yang kian
menghitam. Sungguh mendung penuh kepalsuan. Mengapa? Mereka hanya asyik
bergelantungan di atas sana tanpa mau tahu ada puluhan petani di desaku yang
kian meradang tanpa hujan.
Sementara, aku masih terjaga, memandang langit dari jendela
kaca yang sengaja kubuka. Pekatnya sontak melemparkan sebuah ingatan. Iya, itu
tentangmu, kau yang berada 3600 km dariku. Seorang lelaki yang harus rela
bersusah payah mencari koneksi untuk sekedar bisa saling berkomunikasi.
***
Malam itu, kesan keakraban terpancar dari bias lampu layar handphone-ku.
Larik-larik kalimatmu membuat jariku tak ingin berhenti menyentuh screen ponsel
pintarku. Sama sekali tak romantis memang, tapi merekalah yang membuatku
diam-diam tersenyum tertahan. Dan barang kali, di seberang sana kau tengah
menertawakanku yang mungkin terkesan kegirangan.
“Terus, siapa laki-laki yang kamu impikan?” tanyamu
tiba-tiba di tengah obrolan. Itu pertanyaan yang sama yang entah sudah keberapa
kalinya kau tanyakan sejak hampir setengah tahun lalu.
Jariku seketika terhenti. Kursor di layar kudiamkan
berkedip-kedip beberapa menit. Kupejamkan kedua mata, mencari alasan yang
tiba-tiba hilang entah ke mana.
“Ah rahasia!” aku membalas seadanya. Itu pulalah jawaban
yang selalu kulontarkan untuk menutup rapat-rapat kenyataan. Toh, selama ini
aku memang selalu berhasil mengalihkan topik obrolan. Hebat, bukan?
“Siapa?” setengah memaksa, kau ulangi pertanyaanmu sekali
lagi.
Saat itu aku sungguh tak kuasa mengelaknya. Kedua ibu jari
terus meronta, hendak mengetikan sebuah nama meskipun berulang kali otakku coba
menolaknya. Menjadi hal yang sangat tabu memang bagiku untuk menyatakan
perasaan lebih dulu, termasuk denganmu.
“Laki-laki itu kamu.” entah mengapa kalimat itu seolah
tertulis tanpa kendali otakku. Lalu, melesatlah pesan itu ke atsmosfer.
Aah, dasar jari tak tahu diri. Mengapa pula mereka begitu lancang mengkhianati
sang majikan. Sungguh memalukan!
Lalu, hanya dalam sepersekian detik, pesan itu sampai di handphone-mu.
Sungguh manusia di beri kemudahan yang luar biasa, bukan? Tapi sayang, kita tak
pernah puas dengan kemudahan yang sudah ada. Mungkin ini jugalah alasan bagi Gary Klassen, seorang jenius lulusan University of Waterloo jurusan Geologi
menciptakan aplikasi berlogo buah beri ini. Hanya butuh 1 kilo bite kuota
internet, pesan itu meluncur dengan kecepatan luar biasa.
Dan tiba-tiba status “Read” di
layar muncul, membuat detak jantungku sontak menggila. Kucoba menutup layar
rapat-rapat, menyiapkan mental sekuat-kuatnya. Aku meraba setiap kemungkinan
jawabanmu. Bagaimana kalau kau menolakku, meskipun sama sekali tak ada maksud
menembakmu. Menyiapkan alasan paling logis untuk mengelak hal memalukan itu.
Sampai akhirnya aku merasa siap. Siap dengan hal-hal memalukan berikutnya yang
mungkin akan kau ketahui lagi.
Tapi sungguh sial, kau masih terlihat
mengetik balasan. Aku kembali meraba jawabanmu yang akan sepajang apa.
Barangkali kau akan berkata “maaf aku gak suka
padamu”, “maaf
hatiku sudah ada yang punya” atau lebih parahnya “jangan pernah dekati
aku lagi” Aku hampir gila memikirkannya.
“Aku juga punya perasaan yang sama.
Meskipun terlalu cepat terungkap, tapi membayangkanmu bersama orang lain terasa
benar-benar menyiksa” jawabanmu membuatku hampir tak percaya.
Bagaimana mungkin bisa? Kau adalah
laki-laki yang kuimpikan beberapa tahun belakangan. Kau terlalu istimewa bagi
perempuan sepertiku yang jelas terlalu biasa. Bahkan selama ini aku hanya
berani mengagumi tanpa mengakui, mencintai tanpa berani bermimpi memilliki. Dan
sekarang kau sungguh nyata, tengah tersenyum di seberang sana.
***
“Cinta kita cukup sederhana. Kita tak perlu selalu bertemu
dalam satu ruang dan waktu untuk bisa saling setia.” begitu katamu di suatu
malam berikutnya.
Iya, kita tak perlu saling berkomunikasi setiap waktu hanya agar bisa menepis rasa rindu. Kita memilih bersahabat dengannya. Tak perlu juga kita makan malam romantis atau sekedar nonton film kesukaan untuk merasa saling mencinta. Karena kau dan aku saling percaya, nanti ada waktunya saat tak ada sejengkalpun jarak antara kita. Ada sang Maha Cinta yang bisa kapan saja membolak-balikan hati manusia. Bukankah sejauh apapun kita terpisah kalau memang ditakdirkanNya, nanti akan bersama juga? Kita akan menunggu.
Iya, kita tak perlu saling berkomunikasi setiap waktu hanya agar bisa menepis rasa rindu. Kita memilih bersahabat dengannya. Tak perlu juga kita makan malam romantis atau sekedar nonton film kesukaan untuk merasa saling mencinta. Karena kau dan aku saling percaya, nanti ada waktunya saat tak ada sejengkalpun jarak antara kita. Ada sang Maha Cinta yang bisa kapan saja membolak-balikan hati manusia. Bukankah sejauh apapun kita terpisah kalau memang ditakdirkanNya, nanti akan bersama juga? Kita akan menunggu.
***
Denting jam dinding di kamarku kian beradu dengan waktu.
Suasana benar-benar lengang dan jiwa-jiwa telah berlalu. Sementara aku masih
terdiam. Mataku terpaku pada awan hitam yang nampaknya mulai menjingga. Malam
hampir berlalu, tapi tidak dengan rinduku padamu. Ia masih saja setia
bersemayam tenang dalam kalbu. Menusuk dada sampai ke ulu hatiku.
Aah, rindu ini sungguh kejam. Apa kau juga merasakan?
Aah, rindu ini sungguh kejam. Apa kau juga merasakan?
Gandrungmangu, 17 Agustus 2017
0 Response to "Sepenggal Rindu Untukmu..."