“Bip bip bip” handphone-ku bergetar yang entah sudah untuk keberapa kalinya.
Kira-kira sudah sejak setahun belakangan ini aku memang
tak lagi hobi mengaktifkan nada deringya. Meskipun akibatnya aku sering melewatkan
pesan dan panggilan kalau sedang tidak fokus ke layar. Bahkan email dari klienku
pun tak jarang tanpa sengaja tak teracuhkan.
Benar saja, pagi ini sudah tiga panggilan terlewatkan
dari laki-laki yang baru tiga bulan lalu kunikahi itu. Alih-alih bergegas memanggilnya
balik, aku malah dikejutkan dengan jam digital di sudut kiri atas layar. Iya, sudah
pukul 05.00 dan aku kesiangan sekali pagi ini.
“Aku sudah sampai Ambon, Sayang.” Begitu yang ditulisnya
di obrolan WhatsApp kami.
Sejak dua minggu ini memang riwayat obrolanku dan
dia sudah ada diurutan teratas lagi. Padahal baru sekitar beberapa bulan lalu
ada di urutan kesekian. Iya tepat sekali! Kami sedang menjalani hubungan
pernikahan jarak jauh yang bahasa kerennya long distance marriage. Dan obrolan via WhatsApp menjadi senjata andalan.
“Wah, syukurlah. Perjalanan masih jauh?”
“Sekitar dua jam penyeberangan pakai kapal.”
“Jauh, ya?”
“Hihihi”
Aku tak lagi membalas pesan terakhirnya karena memang
seabrak pekerjaan rumah sudah menungguku di luar situ. Seusai mengambil wudu
dan menunaikan salat subuh, aku bergegas ke dapur, merebus air untuk mengisi
termos biru di meja dapurku.
Belum lagi airnya mendidih, aku sudah kembali tertarik
membuka kunci layar handphone kalau-kalau ada pesan atau panggilan yang
terlewat lagi.
“Lumayan. Airnya jernih banget. Nanti kuajak kamu ke
sini. Hehe 😊).”
Emot icon meringis menjadi akhir tulisannya.
Sejak pacaran, kami memang akrab sekali dengan emot
icon berbagai ekspresi. Ya, kecuali ikon mata love, peluk, cium, dan
sebagainya. Kalau dipikir-pikir aneh memang. Sejak dulu kami sangat menghayati ikon-ikon itu. Bayangkan saja kalau ikon itu nyata adanya, pria yang saat itu masih bukan
siapa-siapa memandangku dengan mata genit, memeluk, bahkan menciumku. Aaah,
sangat tidak sopan!
“Baiklah, Sayang.” Jawabku kemudian.
Jawaban yang klise, bukan? Mungkin bagi banyak orang
itu memang jawaban klise nan penuh ketidakberdayaan. Tapi toh bagiku tak demikian. Ada
semacam kerelaan di sana. Hanya kerelaan? Iya, karena keikhlasan adalah ranah penilaian Tuhan.
Kita yang hanya makhluknya sama sekali tak berkemampuan untuk menilai hati kita
sendiri ikhlas atau tidak. Terlebih untuk menilai hati manusia lainnya.
Lalu, apa arti kerelaan di konteks ceritaku yang
sekarang? Kerelaan adalah kekuatan. Dengan rela melepaskannya jauh ke pulau
seberang, aku akan dengan kuat menahan rindu yang bagi banyak orang berat itu.
Aku akan dengan mudah menjalani hari yang mungkin akan terasa sedikit sepi. Percayalah,
rindu itu indah dan sepi itu mudah.
Selesai kusiapkan sayur labu siam dengan cambah
kedelai kesukaan, aku lanjut menumbuk bumbu racik kuning untuk gorengan. Pagi ini
aku ingin membuat mendoan, makanan khas Banyumas, yang sekarang mulai dikenal
secara luas. Makanan itu lah yang akan menemaniku mengawali pagi pertama untuk menyambut
hari-hari penuh kerinduan berikutnya. Akan kutimbun rindu ini hingga hari dimana
tak akan ada lagi rindu tersisa.
Dikarang
pagi ini di sudut kamarku:
Gandrungmangu, 8 April 2019
0 Response to "Rindu Itu Indah, Sepi Itu Mudah"