“Capek?”
Sungguh, kini bukan lagi
hanya soal binar mata, kelembutan tuturnya tiba-tiba kembali menggetarkan
gendang telinga. Perlahan merasuki membran pendengaran dan merayap lembut bak
kain sutra seharga ratusan ribu. Sambung menyambung dari satu organ ke yang
lainnya, merangsang syaraf indera lalu terhantarlah sampai ke otakku.
“Biasa, Kak.” jawabku
setelah berhasil kukumpulkan lagi nyawa yang untuk beberapa saat
melayang-layang semaunya. Hampir tak percaya memang, tapi apa mau dikata jika dia
benar-benar nyata, berdiri di hadapanku yang artinya memang akulah yang baru
saja ditanyainya.
***
Kala itu, waktu sudah
hampir jam sepuluh malam. Aula yang sedari sore sudah dipenuhi para pemburu
Wi-Fi mulai tampak tak berpenghuni. Satu per satu berjalan keluar gerbang memandangi kami
dengan tatapan heran. Jalanan di
depan juga tampak lengang. Tak terdengar lagi deru suara motor yang bak saling
berkompetisi. Sepi.
Suasana menjadi terasa
semakin sunyi kala si kakak tiba-tiba meninggalkan gerombolan. Iya, sekitar
lima menit yang lalu memang seorang perempuan tiba-tiba datang. Menyeretnya
beberapa meter dari kami, berbisik lirih. Dan entah apa yang sudah diucapkan sang
perempuan, tampak terjadi sedikit diskusi lalu si kakak melangkahkan kaki.
Setidaknya begitulah bagaimana
malam itu berlalu dengan menyisakan secuil sendu. Karena jangankan untuk sempat
bertutur sapa, tahu namanya saja aku tidak. Dia pergi tanpa menengok untuk
kembali dan yang tersisa hanya seberkas ingatan tetang binar yang entah mengapa
ketemukan sebuah kelembutan di sana.
Hari demi hari terus
berjalan bagai roda tanpa poros pemberhentian. Fajar seolah tak pernah lelah hadir
menyambut sang mentari. Pun sama halnya dengan senja yang selalu setia
mengantar sang surya ke peraduannya. Terus bergantian. Lalu si kakak? Ah, aku
tidak lagi pernah melihat batang hidungnya di area kampus ataupun pusat
kegiatan. Dia menghilang untuk waktu yang bahkan tidak sama sekali kutahu.
“Bengong sampe lupa makan?”
kembali suara Sintalah yang memecah lamunan. Tanpa dikomando dua kali, aku menutup
album foto dan bersiap-siap berburu makan di warteg langganan
Kau dan aku adalah ketidakmungkinan
yang hanya akan terjadi bila Tuhan menghendaki. Sampai jumpa kembali, Kakak.
Selesai
0 Response to "Tokoh Tanpa Nama 3"