Isya…
Satu masa yang menjadi
pembuka cerita. Isya yang entah mengapa mengingatkanku pada alasan mengapa di
sini. Isya yang… Ah, aku memang sudah terlanjur terdampar di kota ini. Terlibat
dalam sebuah drama aneh tak terdefinisi. Yang alasannya tak lain adalah soal
mencari.
Mencari adalah
satu-satunya kata paling memotivasi. Karena bagaimanapun juga, aku merasa sudah
buta belasan tahun lamanya. Lahir dan dibesarkan di satu dusun tertinggal
membuatku merasa tak tahu apa-apa dan tak bisa ke mana-mana. Ditambah lagi, aku
tak ditakdirkan lahir jenius seperti Habibie.
***
“Kalau kau yakin dengan
keputusanmu sekolah, perjuangkan hingga tetes darah penghabisan.” ujar bapak
yang sudah sejak sore bercerita ngalor-ngidul
denganku. Malam itu tepat 17 Agustus saat hasil seleksi masuk PTN yang kuikuti
diumumkan.
Setidaknya memang bapaklah
salah satu alasanku fokus bersekolah meskipun sebenarnya ada pulusan hal yang membangkitkan
lagi semangatku. Semangat yang sudah sempat tercabik-cabik yang puing-puingnya cukup
lama tak kuacuhkan. Tapi sudahlah, biar kusimpan dalam memori otakku saja.
Kembali soal isya, aku
tak cukup bisa mengingat detail kronologinya. Lagi-lagi mungkin karena IQ-ku
yang tak jauh dari angka sembilan puluh yang akhirnya membuatku mudah lupa. Hanya
beberapa penggal cerita saja yang sanggup kutemukan dalam memori. Atau aku saja yang
terlalu berfokus pada dia, entahlah. Yang jelas aku masih ingat betul postur
tubuhnya. Tinggi semampai meski tak cukup atletis. Kalau kukira-kira mungkin
aku hanya setinggi bahunya.
***
Malam itu kami, aku dan
beberapa mahasiswa baru lainnya, sudah berkumpul di lapangan terbuka. Tempat
itu semacam area berkumpul mahasiswa yang terdiri dari mushola dan beberapa gedung
lainnya.
“Jangan banyak bercanda!”
serunya tiba-tiba tepat di muka telinga kiri. Iya, dialah kakak yang pernah
kuceritakan sebelumnya.
Terlampau keras, aku
refleks melompat sebisa-bisanya. Dan malang, aku jatuh tersungkur di hadapannya.
Di depan kakak yang berpakaian serba hitam itu. Saking malunya tanpa sadar aku menutup muka sembari sedikit meringis memperlihatkan gigiku yang tak pernah gupis.
“Kau gila?” keras
suaranya menggetarkan gendang telinga.
Aku mencoba bangkit dan
kembali berlari. Aku tahu kakiku yang telanjang beberapa kali membentur paving block yang tentu saja
berkali-kali lipat kerasnya. Tapi tak kuhiraukan demi harga diri. Harga diri?
Kurasa bukan. Ada rasa aneh yang tak bias kujelaskan dengan logika. Aku seolah
ingin terlihat keren di mata si kakak. Cinta? Masih terlalu picisan untuk
kusebut demikian.
“Balik lagi!” samar-samar
dari kejauhan ia memberi instruksi.
Aku dan beberapa teman
seperjuangan mengerahkan segenap tenaga yang tersisa karena semangat kami sudah
hampir habis sama sekali. Aku coba mengingat-ingat menu apa yang kusantap
selepas magrib tadi yang tak lain adalah beberapa bungkus nasi kucing dan sate
jeroan. Kalau kuhitung-hitung, aku mengkonsumsi tidak lebih dari satu ons
jeroan dengan 27 kalori dan dan 5 kepal nasi yang mungkin hanya mengandung 300-an
kalori. Memangnya tidak cukup? batinku
mengutuk diri.
Ayunan kaki terseok-seok
mulai berpaju lagi setelah membalik garis finish. Satu, dua, tiga, dan
seterusnya. Kini, hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk sampai di
hadapannya. Remang-remam kuterawang wajahnya yang seram. Sepersekian detik kudapati
sorot matanya. Tak dapat kupungkiri sama sekali, ada binar kelembutan di sana.
Binar yang untuk kesekian kali berhasil memicu jantungku berdetak lebih kencang
dari biasanya.
Bersambung…
0 Response to "Tokoh Tanpa Nama (2)"