Aku tersenyum membuka album foto lama. Gadis berwajah
bulat dengan perawakan mungil tergambar di atas kertas premium matte paper
berukuran 10 x 15 cm. Ia berdiri di tengah hamparan luas gelora olahraga
universitas. Mengenakan topi yang senada dengan warna jas, gadis itu tampak sumringah
memandang kamera yang ukurannya 2 mega pixel. Ah tidak, mungkin 4 atau bahkan 5.
Area gelora olahraga itu hampir seluruhnya berwarna
menyala serupa kunyit tua. Di sana, Nampak seorang laki-laki berdiri di atas
panggung kecil lengkap dengan toak di tangannya. Kalau tidak salah ia preiden
BEM yang tengah berorasi.
”Cie-cie, sedang memandang foto siapa nih?” tanya
Sinta yang diam-diam menyelinap ke kamarku.
“Bukan siapa-siapa.” Jawabku seadanya.
Sinta adalah teman satu kosan yang kukenal sejak masa
orientasi mahasiswa baru. Berangkat dari satu kabupaten yang sama membuat kami
seolah sudah dekat sejak lama. Ditambah lagi, entah kebetulan macam apa, kami
disatukan dalam kelompok kegiatan pengenalan yang diadakan BEM kampusku itu.
Penjajahan, kata paling popular di kalangan mayoritas
mahasiswa menggambarkan kegitan berlabel “wajib” itu. Mengapa? Diharuskan berangkat
sebelum subuh dengan seabrak syarat dan barang bawaan sudah pasti sangat
mengesalkan. Bukan hanya harus ke sana ke mari mencari perlengkapan, para mahasiswa
baru seperti kami dipusingkan dengan teka-teki yang menguras energi. Terlebih untuk
mahasiswa pendatang macam aku dan Sinta ini.
Tapi aku tetaplah aku. Aku selalu tak suka rata-rata. Sama
halnya dengan kasus ini, saat rata-rata temanku menganggap kegiatan ini sebagai
penyiksaan, aku tetap menganggapnya
sebagai suatu keasyikan.Aku tak peduli pada kakak senior yang berteriang dengan
mata melotot-lotot di depan muka. Toh, semuanya pasti sandiwara. Kisah penjajahan
itu hanya skenario yang tak lebih dari sutradara, inti cerita, latar, dan
tokoh-tokohnya.
Bicara soal tokoh-tokohnya, aku ingat betul bahwa sandiwara
mengasyikan itu tak lain diperankan oleh kakak tingkatku. Berasal dari dua
belas fakultas dengan berbagai macam disiplin ilmu membuat setiap tokoh
menampilkan karakteristik yang berbeda. Dan seperti kubilang sebelumnya, aku yang
tak suka rata-rata tertarik dengan satu karakter yang tak biasa. Tokoh unik itu
adalah dia, seorang kakak yang menarik perhatianku pada suatu hari selepas
isya.
Bersambung...:))
0 Response to "Tokoh Tanpa Nama (1)"