Pagi
itu langit cerah. Angin berhembus lembut, beberapa gumpalan awan
putih berarak mengikuti arah tiupannya. Mentari bersinar terang, menembus
daun-daun kelapa yang sedikit bergoyang. Sinar yang memancarkan vitamin D itu
menghangatkan tubuhku. Aku dan kawan-kawanku. Kami telah siap, berdiri dengan
kaos merah putih dan sedikit garis biru yang memisahkannya. Garis itu menyayat
miring tepat didadaku.
Kami berbaris empat bajar di halaman
sekolah. Bangunan sekolah ini sudah cukup tua. Memang karena umurnya yang jauh
melampauhi umur kami. Mungkin salah satu orang tua dari kami pun dulu ada yang
bersekolah di sini. Meskipun sudah direnovasi beberapa kali, namun kesan ancient tetap kental melekat pada
dinding-dindingnya.
Ini adalah kamis pertama sejak aku masuk sebagai murid
kelas empat. Tepatnya sejak bapak mengambil raporku pada hari Sabtu, dua minggu
yang lalu.
“Berapa, Pak?” tanyaku pada bapak.
Kuraih rapor warna merah dengan benang putih di tengahnya. Itu bukanlah desain yang disengaja, melainkan perbaikan kerusakan akibat jatuh ke selokan tahun lalu.
Kuraih rapor warna merah dengan benang putih di tengahnya. Itu bukanlah desain yang disengaja, melainkan perbaikan kerusakan akibat jatuh ke selokan tahun lalu.
“Sama” jawab
bapak singat.
Itulah jawaban yang selalu kudengar setiap kali penerimaan rapor. Kadang aku bertanya-tanya, "Tidak berharga kah ranking itu?" Kadang juga aku berharap ada hadiah dari sekolah seperti cerita pendek " Ranking Satu" di buku Pintar Membaca-ku. Dan nihil.
Itulah jawaban yang selalu kudengar setiap kali penerimaan rapor. Kadang aku bertanya-tanya, "Tidak berharga kah ranking itu?" Kadang juga aku berharap ada hadiah dari sekolah seperti cerita pendek " Ranking Satu" di buku Pintar Membaca-ku. Dan nihil.
Barang kali, baik orang tua ataupun guruku
sedang menanamkan nilai yang sama. Bahwa pencapaian tak identik dengan minta
imbalan. Tapi bagaimana soal apresiasi? Ah, toh dulu aku tak cukup mengerti.
Kami telah berdiri sekitar lima
belas menit sebelum pak Hardi, guru olahragaku datang. Ia
berdiri di hadapan kami. Masih dengan kaos dan trening biru serta peluit yang
dikalungkan di lehernya. Tak lupa topi hitam yang menutupi kepala guru asli Wonogiri itu. Kumis
yang cukup tembal mencerminakan jiwanya yang keras. Tetapi siapa sangka di balik wajahnya
yang terkesan seram itu, ada jiwa humor yang selalu membuat kami rindu.
“Nanti
mutar ke selatan lewat kuburan, terus kembali dari utara. Dan ojo celometan” katanya.
“Iya, Pak guru”
jawab kami serempak. Hal itu terkesan seperti anak TK yang memberi salam sebelum pulang.
Namun itulah yang diajarkan tiap guru pada kami. Menjawab dengan nada pelan
yang diucapkan bersama-sama. Bukankan itu jenis penghormatan juga?
“Kamu pakai kaos
dalem kan? Buka aja bajumu!” seru pak Hardi pada anak laki-laki di barisan paling barat.
Ia murid baru. Ini adalah hari pertamanya. Tidak mengherankan jika ia tak tahu kalau
hari ini jadwal Penjaskes. Dan alhasil ia pun tidak membawa kaos olahraga.
Kami berlari kecil dalam barisan
yang rapi, sama seperti intruksi pak Hardi. Berlari dengan telanjang kaki.
Jalan yang berkerikil tajam membuat lari kami kadang terhenti. Namun aku,
dengan segera aku kembali berlari setiap kali anak laki-laki di sampingku
memulainya. Bagaimana tidak? Rasanya aku tak ingin melewatkan sedikit saja
geraknya. Mataku terus terpaku pada sosok berkaos dalam putih dengan rambut
yang terbang-jatuh beirama.I fell in love
at the first sight.
Bahkan ketika hari telah berganti
aku tetap suka mangawasinya. Mencuri pandang setiap saat ia duduk menghadap tembok
kelasku. Aku suka pada julukan “ ibu Megawati dan bapak SBY” yang diberikan
teman-temanku pada kami. Bukan karena pasangan kekasih, tepatnya karena aku
dipilih sebagai ketua kelas sedangkan dia adalah wakilku.
Aku suka dengan semua yang ada
padanya. Aku suka sepeda oranye- hitam miliknya. Betapa ia gagah bak seorang
pangeran setiap kali menunggang sepeda itu. Juga, aku suka pada tasnya yang
berwarna serupa. Pernah suatu siang ketika ruang kelasku gaduh, seorang teman
melempar tas itu. Sialnya, tas itu malah jatuh tepat di pangkuanku. Hal yang
biasa memang, tetapi betapa kencangnya detak jantungku ketika ia berjalan
mendekatiku, meminta tas dipangkuanku itu.
“ Maaf ya, yang nglempar Feri” katanya
pelan. Itulah pertama kalinya ia bicara padaku
Tapi Aku hanya diam seribu bahasa. Lidahku kaku. Beku hingga
pada suhu minus derajad. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya merasakan
sakit yang teramat di dadaku. Detak jantungku begitu menggila.
***
Mengagumi dari jauh, begitu caraku
menyukainya. Mungkin itu juga yang membuatku tak pernah sekalipun berbincang
dengannya. Aku hanya selalu ingin melihatnya bersepeda di depan rumahku setiap
pagi. Mendengar suaranya memimpin doa setiap kelas akan dimulai. Aku hanya
ingin terus memandang tas oranye-hitam dan rambut yang selalu bergoyang ketika
ia berjalan.
Mungkin ini first loveku. Tepatnya cinta monyet
pertamaku. Ini bukan tentang bagaima manisnya cinta pertama
dalam dunia dewasa. Tetapi hanya tentang lucunya moments
ketika pertama kalinya aku menyukai si Adam. Ya, dialah lelaki
berkaos dalam putih yang membuatku selalu terpesona. Sosok yang selalu membuatku
berhenti bermain tali, diam ketika pandangannya menghambur ke
arahku.
***
Dering handhone menggetarkan lenganku. “Rian” begitu nama kontak
muncul bersamaan dengan gampar amplop di layarnya. Dialah laki-laki berkaos
dalam putih itu. Sudah sekitar dua minggu lalu ia menghubungiku setelah
sekian lama hilang. Pasalnya, sejak lulus dari sekolah dasar, atau tepatnya
sekolah menengah kami benar-benar lost
contact. Mungkin karena jarak sekolah kami yang terpaut puluhan kilo meter,
dan juga aku yang harus rela tinggal di kos-kosan. Namun dua minggu lalu ia
menelfonku. Mungkin itulah pertamakalinya kami berbincang.
“Kamu punya pacar?” tanyanya
tiba-tiba di sela perbincangan kami.
“Belum” jawabku dengan
sedikit terkejut. Kini ia berbeda dari anak lai-laki yang kukenal dulu.
Suaranya berubah menjadi lebih besar, dan gaya bicaranya terkesan lebih berani.
Barang kali ia sudah biasa merayu wanita dan meminta untuk jadi pacarnya.
Pikirku.
“Boleh aku mengisi hatimu?”
katanya lagi.
“ Maaf, aku masih mau
mengistirahatkannya” jawabku kemudian. Entah apa yang ada dalam otakku.
Bukankah seharusnya aku bahagia dengan cinta pertama yang kini di depan mata.
Tetapi justeru aku malah berbalik arah. Mungkin aku hanya menyukai sosok itu
pada sepuluh tahun lalu. Laki-laki berkaos dalam putih yang selalu membuatku
enggan dengan hari Minggu.
Saturday 10th January 2015
Ya Allah seharusnya saya gk baca cerita ini πππππ bikin baper
ReplyDelete-
Coba dibikin film pasti bagus banget
Terima kasih apresiasinya, Mas Agus Saputra:)
DeleteKeren yankπ
ReplyDeleteItu true story dengan banyak polesan fiksi, Yank. Hihi
DeleteCerita mu sungguh lucu teringat waktu sekolah SDππ
ReplyDelete