“Ayo, Pak, ceritakan
wayang yang semalam.” Rengek bocah laki-laki dengan mata penuh harap.
Seperti
biasa, digelarnya selembar karpet permadani tebal di lantai, tepat berhadapan
dengan sebuah kursi yang ternyata telah berpenghuni. Seorang lelaki tua dengan
rambut yang memutih tengah duduk di sana. Postur tubuh yang tegap dan gagah
mencerminkan jiwanya yang tangguh. Sebatang cerutu tampak mengepul dari
mulutnya, semakin gagah bak seorang jenderal VOC.
Tradisi cerutu di
Indonesia memang pertama kali diperkenalkan penjajah dari Negeri Kincir Angin
ini. Tak jelas, apa dan siapa pabrik cerutu pertama di Hindia Belanda. Namun,
yang tertua dan masih bertahan hingga kini adalah Industri Bobbin PTPN X di
Desa Jelbuk, Jember. Industri yang sekarang merupakan Badan Usaha Milik Negara
ini menghasilkan tembakau yang sangat cocok untuk bahan pengikat maupun isi
cerutu. Dan alhasil, cerutu yang diproduksinyapun memiliki kualitas yang tak
kalah dari cerutu Kuba maupun Amerika.
“Ayo, Pak.” Kembali
bocah itu coba membujuk lelaki tua yang tampak masih asyik menghisap aroma
tembakaunya. Dihembuskannya asap dari mulut. Menyebar ke seluruh ruang. Harum.
“Memangnya kau sudah
salat maghrib, Ngger?” Tanya lelaki
tua itu akhirnya. Ngger atau Angger merupakan sebutan yang digunakan
masyarakat Jawa untuk menyebut anak laki-lakinya sebagai bentuk kasih sayang.
“Tentu saja sudah.
Aku sengaja cepat-cepat biar bisa mendengar cerita Bapak.” Jawab bocah yang
usianya baru genap sebelas tahun itu. Meskipun hampir menginjak masa remaja,
postur tubuh yang mungil membuatnya terlibat layaknya berusia sembilan tahunan.
“Baiklah.”
Diletakannya cerutu itu di atas meja. Bocah itu kemudian membenarkan posisi
duduknya. Mendekat ke hadapan lelaki tua.
“Cerita yang dibawakan pagelaran wayang
semalam itu ‘Perang Baratayuda Jayabinangun’, Ngger.” Sambung lelaki tua memulai cerita.
“Perang saudara
antara lima orang Pandawa dengan seratus orang Kurawa itu, Pak?” Tanya bocah
itu penuh selidik. Binar matanya selalu memancarkan semangat yang luar biasa.
“Betul, Ngger. Perang saudara karena sengketa
tanah Negara Astina.”
Beberapa saat hening.
Bocah itu tampak menyerap apa yang baru saja didengar ke dalam otaknya.
Sementara di luar, gerimis mulai turun yang rintiknya jatuh berirama. Satu,
dua, tiga, hingga tak terhitung lagi.
“Perang itu terjadi
di lapang Kuru Setra, Pendawa dipimpin oleh kakak tertuanya yaitu Puntadewa
sementara Kurawa dipimpin Duryudana” Lanjut lelaki tua. Dihelanya napas panjang
sebelum kembali menghisap cerutu yang sempat dicampakan beberapa saat.
“Gimana perang itu
bisa terjadi, Pak? Bukannya sesama manusia harus saling mengasihi?” Bocah itu
duduk melipat kaki dan menempelkan dagunya yang runcing di atas lutut. Wajahnya
memang tampan dan darah keturunan Arab yang mengalir dalam tubuhnya tidak dapat
disembunyikan sama sekali. Mata yang tajam dengan bulu mata yang lentik dan
alis tebal terpasang sempurna di wajah orientalnya.
Sebelum
pertanyaan itu terjawab, sesosok wanita muncul dari tirai pintu ruang tengah.
Ia membawakan secangkir kopi arabika yang diolahnya sendiri. Meskipun terbilang
memiliki kandungan kafein yang relatif rendah, jenis kopi ini memiliki aroma
yang harum dan rasa yang nikmat. Tidak heran kalau harga jualnyapun tinggi.
“Sebenanya perang itu
bermula sejak orang tua mereka masih muda.” Kata lelaki tua setelah menyeruput
kopi untuk yang pertama. “Pandu yang merupakan ayah dari Pandawa membawa tiga
putri yaitu puteri Kunthi, Madrim dan Gendari. Salah satu dari mereka yaitu
Gendari diberikan kepada kakanya yang buta yang bernama Dretarasta. Dengan
terpaksa Gendari menikah dengan Drestarastra, tapi dalam hatinya sangat kesal
karena memiliki suami yng buta. Lalu, Gendari bersumpah kalau anak-anaknya
nanti yaitu 100 orang Kurawa akan selamanya bermusuhan dengan seluruh anak
Pandu yaitu lima orang Pandawa. Begitulah awal mulanya, Ngger”
Bocah itu
mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Meskipun hasyat ingin tahunya belum
seluruhnya terpenuhi, setidaknya ia sedikit puas dengan permulaan cerita lelaki
tua. “Terus siapa yang menang dalam perang itu, Pak?” Selidiknya lagi.
“Nanti kuceritakan
lagi. Ayo tunaikan kewajiban dulu” Jawabnya. Tanpa perlu dikomando dua kali,
bocah itu lari ke arah kamar mandi. Lalu, lelaki tua mengikuti di belakangnya.
Mengambil air wudu dan melaksanan empat rakaat salat isha.
Seusai melaksanakan
salat isha, meraka tak bergegas kembali ke ruang depan, melainkan tetap tinggal
di ruang sembahyang. Mereka duduk bersila dan saling berhadapan. Seolah lupa
dengan sisa cerutu dan secangkir kopi yang baru dinikmati sesruput saja, lelaki
tua kembali memulai ceritanya.
“Perang itu diawali
dengan gugurnya Resi Seta, pemimpin perang Pandawa yang ditusuk dengan cundrik (keris kecil) pemberian Dewi
Gangga oleh Resi Bisma. Ia adalah pemimpin perang pihak Kurawa. Hari itu
kemenangn ada di pihk Kurawa.”
Suasana kembali
hening. Nampak beberapa cicak tengah ber-meeting
mengelilingi lampu LED Philip 40 Watt. Nyalanya yang jernih berpadu dengan
tembok bercat putih bersih membuat ruangan terlihat sangat terang. Saking
terangnya, semut merah di sudut ruangpun terihat dengan begitu jelas. Mereka
berjalan dalam barisan yang sangat rapi. Ke atas, menembus plafon lewat lubang
kecil. Barangkali mereka hendak mencari makan di luaran karena sang penghuni
rumah tak membiarkan runtukan biskuit atau sebutir gula pasir sisa membuat kopi
berserak di lantai.
“Apa selanjutnya yang terjadi, Pak?” Tanya si
bocah memecah keheningan.
Lelaki tua melihat
sekeliling, kanan lalu kiri. Barangkali ia baru saja mengingat puntung cerutu
yang ditinggalkannya di atas meja. Barangkali sudah habis seluruhnya menjadi
abu. Atau mungkin saja ia sedang menyayangkan secangkir kopi yang pasti sudah
dingin tadi.
“Perang masih terus
berlanjut, Ngger.” Ia membenarkan
peci, merapikan rambutnya yang sebagian besar telah memutih. “Keesokan harinya,
saat Batara Surya menampakkan diri di ufuk timur, sangkala kembali ditiup. Itu tanda
perang dimulai, Ngger. Sorak-sorai
prajurit ramai sekali. Tombak menancap di tubuh prajurit yang gugur. Ratusan
anak panah berhamburan di langit Kuta Setra bagi bintang jatuh. Mengkilat dan
menyambar-nyambar.”
Bocah itu
mendengarkan setiap kata yang diucapkan lelaki tua dengan seksama, tanpa celah
sedikitpun. Matanya berbinar penuh dengan rasa keingintahuan. Kembali ia
membenarkan posisi duduknya. “Siapa yang gugur hari itu, Pak?”
“Resi Bisma, pemimpin
perang Kurawa yang dipanah oleh Srikandi”
“Srikandi itu wanita
kan, Pak?
Sang lelaki tua
kembali merapikan peci entah untuk keberapa kali. ”Benar, Ngger Srikandi adalah isterinya Arjuna. Ia atas perintah Prabu
Kresna, memanah Resi Bisma menggunakan panah milik Arjuna.”
“Pasti keren sekali
Srikandi saat itu ya, Pak?” Bocah itu tersenyum lebar. Sudut matanya menyempit
beberapa derajad.
“Ceritanya sampai sini
dulu, minggu depan akan bapak ceritakan lagi. Pergilan tidur.” Kata lelaki tua
mengakhiri cerita akhirnya.
Bergegas bocah itu
membereskan sajadah dan sarungnya. Meletakkannya di laci yang menempel di
dinding. Namun sebelum sempat melangkahkan kali ke luar ruangan, si bocah
kembali mendekati lelaki tua. “Aku suka sekali dengan wayang, Pak. Tapi katanya
kalau terlalu menyukai wayang itu bisa jadi orang musrik.” Tanyanya setengah
berbisik. Matanya yang sudah sempat meredup kembali berbinar.
“Siapa yang bilang begitu?”
“Guru agama di
sekolahku, Pak”
Sang Bapak tak
langsung menjawab. Ia tertawa setengah terbahak yang rupanya telah mengusik
sekelompok cicak tadi. Barangkali mereka sedang menguping dengan pura-pura meeting.
“Ngger, kesenian
wayang itu mahakarya yang luar biasa. Pertunjukan wayang bisa menggabungkan
banyak kesenian. Seni sasta dari pupuh
yang diucapkan sang dalang, seni musik dari alunan musik gamelannya, seni rupa dari bentuk wayang
kulit yang unik dan khas budaya Indonesia. Selain itu, wayang juga punya pesan
kehidupan yang baik.”
“Benarkah, Pak?” Si bocah menegakkan
kepala penuh kekaguman.
“Dan hebatnya lagi, Wayang
dari tanah Jawa ini sudah dikenal di luar negeri, Ngger. Contohnya di perancis,
Inggris, Austria, Yunani, Jepang, Thailand, Singapura, Amerika, Bolivia dan
masih banyak lagi. Jadi, kau patut bangga.”
“Tapi di cerita wayang kan ada banyak dewa, Pak. Bukannya
Tuhan itu satu?” Celetuk bocah itu memotong cerita.
“Benar, Ngger. Untuk menjadi manusia yang baik kau harus
senantiasa berfikir sebelum bertindak. Apakah dari tindakanmu itu membuat orang
sedih, marah, atau justeru bahagia. Dan kau tahu kan harus bertindak seperti
apa?”
“Tahu, Pak. Kita harus bertindak yang baik, yang tidak
menyakiti orang lain dan kalau bisa memberi manfaat untuk sesama”
“Kau anak yang cerdas, Ngger. Sejatinya begitulah kita
seharusnya. Sementara itu dulu sembari kau terus rajin belajar dan beribadah.
Nanti kau akan semakin paham.” Kata lelaki tua sembari mengelur kepala anak
lelakinya.
Jam dinding telah
menunjukan pukul 22.00. Hujan di luarpun sudah kian deras tak terbendung lagi.
Setiap malam dalam minggu ini, hujan memang selalu turun. Lihat saja hari ini,
hujan sudah turun sejak selepas senja sore tadi yang seolah tak pernah bosan
jatuh ke bumi.
Rini Pamuji
0 Response to "Selepas Senja"