Salah Paham
Mugiharjo. Sebuah nama desa kecil di Kabupaten paling barat provinsi Jawa
Tengah. Sesuai dengan namnya yang berarti semoga makmur dalam bahasa Sansekerta,
penduduk desa ini hidup penuh pengaharapan akan sebuah kemakmuran. Damai dan
Asri. Pohon-pohon yang rindang berjajar di sepanjang jalan. Kleang atau daun-daun kering, jatuh dan
berserakan di bawahnya. Udara yang sejuk di siang hari membuat orang yang datang
merasa nyaman untuk tinggal. Ketika malam datan, jalanan gelap gulita karena lampu penerangan jalan yang memang masih
sangat jarang. Dan setiap tanggal 15 pada penanggalan Jawa, bulan purnama
terang benderang bersinar. Bentuknya yang bulat indah membuat anak-anak desa tertarik untuk bermain
di tanah lapang, Memainkan petak umpet bersama kawan sebaya. Bersembunyi di balik pohon
kelapa yang berjajar rapi layaknya pasukan pengibar bendera ketika upacara
kemerdekaan.
Di
ujung desa, hamparan sawah luas membentang. Menyapa kornea yang bayangannya jatuh tepat di retina setiap mata yang
memandang. Yang ketika musim bertanam tiba, para wanita desa berbondong-bondong
mendatangi lautan lumpur dengan sedikit air di permukaannya. Lautan itu berkilau
bak permata yang basah bermandikan cahaya. Mereka menancapkan
beberapa batang bibit padi yang telah dipotong ujung daunnya. Para wanita itu memakai caping
dari anyaman bambu yang hanya cukup melindungi wajah dari terik yang terasa
membakar kulit. Bercengkrama
dengan lumbur yang berbau rumput busuk.
***
Waktu
yang dinanti setiap warga khususnya para petani desa telah tiba. Hamparan hijau
nan elok telah menguning. Burung meliwis yang stiap sore hari berjajar
di pematang
sawah telah enyah berganti burung emprit yang beterbangan di
atas hamparan padi yang menguning indah. Burung yang bercicit dengan ceria itu adalah
musuh bagi setiap petani. Karena apabila dibiarkan, mereka akan
memakan dan merusak tanaman padi. Alhasil, berkilo-kilo bulir padi berkurang tiap harinya.
Pada
hari-hari seperti ini, warga akan menajamkan indra penglihatan serta pendengaran apabila ada
yang berseru dengan riang. Mbawoon.
Istilah yang digunakan warga setempat untuk menandai bahwa sepetak tanaman padi hendak dipanen.
Seketika orang-orang akan berlari
membawa celurit kecilnya untuk mengarit. Tidak heran di pinggir-pinggir
sawah yang daun padinya menguning bergerombol orang menungguinya. Mereka dengan sabar menunggu
komando dari sang pemilik sawah.
Pak
Sarmin
adalah salah satu dari sekian banyak orang di gerombolan itu. Pada siang
hari, ia akan membawa bungkusan nasi dari daun pisang yang sudah dilayukan di
atas api. Yang menimbulkan wangi pada
nasi yang hangat. Dan pada saat malam,
ia memakai pakaian tebal agar hawa dingin tidak menggerogoti paru-parunya. Meski tak lagi berdarah
muda, tangannya yang kekar masih
sanggup mengangkat sekarung gabah.
***
Malam
ini ia bersama keempat kawannya bersepakat untuk njanggoli atau menunggui sawah pak Marto. Umur tananman padinya sudah kurang lebih 120
hari sejak bibit itu ditancapkan.
Itu artinya
dalam waktu dekat padi akan dipanen. Ia
ingin sekali bisa mendapatkan
padi varietas
Ciherang itu untuk dijadikan benih bakal tanam musim hujan nanti. Bukan
hanya terbilang genjah karena berumur 125 hari saj, varietas ini juga memiliki
tekstur nasi yang pulen.
Pak Sarmin tidur di bawah pohon mangga yang tumbuh satu-satunya
di tengan sawah. Pohon yang tumbuh dengan dedaunan yang lebat itu bagai surga
bagi setiap orang. Karena pada siang hari saat matahari terik, orang
akan berlindung di bawahnya. Dan ketika malam
tiba, mereka bisa dengan leluasa
berteduh dari silaunya purnama.
Keempat
kawannya telah tertidur nyenyak di atas tikar pandannya masing-masing. Suara
dengkuran para lelaki
dewasa itu beradu. Sementara itu, pak
Sarmin
masih tetap terjaga karena hawa dingin yang seolah menusuk tulang-tulangnya. Ia
menggulungkan tubuhnya di dalam tikar pandan, mencoba mencari setitik kehangatan. Perlahan,
ia terlena, terayu oleh syahdu malam yang dingin itu.
“Mbawon- mbawon” samar-samar terdengar suara dari kejauhan. Dibukanya kembali
pelupuk mata yang baru beberapa
detik menutup. Didengarkannya dengan teliti suara itu,
memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Lamat-lamat suara itu kian dekat. Dilihatnya rumpun padi bergerak-gerak dan suara irisan parang kecil
dengan batang padi terdengar jelas di telinmganya.
“Kang bangun ,, mbawon!” Ia mengoyang-goyangkan tubuh keempat kawanya yang
sedari tadi sudah terlelap. Satu persatu telah bangun, mengucek-ucek matanya,
namun wajahnya lesu layaknya mayat yang baru saja terbangun kembali dari kuburnya.
“ Di mana kang?”
“Sawah kang Marto.” Kemudian zombi-zombi itu mengumpulkan nyawa untuk segera beraksi. Tanpa
menunggu terlalu lama, ia dan kawan-kawannya
berlari ke area sawah pak Marto. Dengan terampil membabat rumpun-rumpun
padi yang terasa berat karena butir gabah yang berlimpah. Setelah dibabad
habis, giliran mengumpulkannya menjadi satu tumpukan besar untuk segera dirontokkan
begitu hari sudah sedikit terang.
***
Pak Marto baru saja
tiba di depan sawahnya. Melihat tanaman padi yang diharapkannya sudah semakin
tua namun hanya tinggal sisa babadan. Darahnya naik hingga ke ujung kepala. Ia
kembali ke perkampungan dengan penuh amarah. Postur tubuhnya yang tinggi besar dengan
lengan yang kokoh membuatnya terlihat lebih kuat dari orang yang seusianya.
“Hey siapa yang berani-baraninya nyolong
padiku!” Teriaknya sambil berjalan di sepanjang jalan desa. Tak jelas pada siapa.
Ia
memandang setiap pintu rumah warga yang dilewatinya.
”Keluar kau maling!” Serunya lagi. Tak ada
jawaban. Anak-anak yang ketakutan melihat tingkah pak
Marto langsung lari masuk ke
dalam rumah.
“Kamu pikir bisa sembunyi? Lihat saja nanti kalau udah ketemu aku potong
lehermu.” Dengan melotot, lagi-lagi pak Marto berteriak di tengah jalan. Matanya yang lebar
dan tajam serta berengos yang hampir memenuhi dagu hingga leher menambah kesan
antagonis diwajahnya.
***
“Oh jadi kamu
dalangnya, Min?” Tiba-tiba dengan nada
tingginya pak Marto menegur pak Sarmin yang sedang duduk di bangku panjang
berlengan. Ia terperanjat.
Tak menyadari kedatangan pria bertubuh gempal itu.
“Iya kang Marto,
kang Sarmin ini yang pertama
kali memberi tahu kami kalau padi kang Marto mau
dipanen.” Seorang lelaki yang merupakan kawan pak Sarmin itu memberi
kesaksian.
“Sabar dulu. Sebenarnya ada
apa ini?” Tanya pak Sarmin heran. Kening yang sudah tampak keriput itu mengerut hingga kedua alisnya
hampir menyatu.
“Jangan pura-pura
kau, Maling. Sudah miskin tapi jadi maling, pantasan kere terus.”
“Mari kita duduk
dulu, Kang. Siapa tahu cuma kesalahpahaman
saja.”
“Alah kamu gak
usah mengelak lagi. Semua saksi sudah ada kalau kamulah dalangnya.” Kata pak Marto
dengna penuh amarah.
“Sungguh, Kang. Aku masih belum
paham dengan tuduhan kang Marto.”
“Nggak usah
pura-pura lagi, kamu maling gabahku.”
Pak Sarmin hanya terdiam di posisi
seperti sebelumnya, sedang istrinya yang tiba-tiba keluar dari balik tirai
menangis terisak dengan sesekali menyeka
air mata yang mengalir deras dipipinya.
“Aku minta maaf, Kang. Tapi
benar-benar aku tidak bermaksud jadi maling.”
“Kamu pikir
dengan kata maaf saja sudah cukup mengganti kerugianku?”
“Tapi aku nggak nyuri, Kang.”
“Oh jadi kamu
gak mau ngaku kalau kamu itu maling? Kurang ajar!!” Tangan pak Marto hendak
menyaut gagang golok di pinggangnya namun salah seorang laki-laki menahan
tangnnya. Di halaman rumah pak Sarmin warga telah berkumpul seolah ingin menyaksikan
pertunjukan sirkus gratis.
“Ini bagaimana
ceritanya?” Tanya pak RT yang muncul dari kerumunan
warga.
“Ini pak, maling
gabah saya dengan enaknya sekarang gak mau ngaku kalau dia maling.” Pak Marto
nyerocos dengan antusias.
“Benar seperti
itu, pak Sarmin?
“Injih, tapi saya tidak sengaja jadi maling, Pak RT. Tadi malam
benar-benar ada dua orang yang ngarit sebelum saya, dan saya hanya ikut saja.” Kata pak Sarmin gugup.
Sekujur tubuhnya menggigil.
“Sekarang kamu
malah nyari kambing hitam ya atas kesalahanmu.” Pak Marto
menyela.
“Jadi pak Sarmin
tahu orangnya siapa?”
“Mboten, Pak. Saya tidak
sempat menyapa kedua orang itu.” Jawab pak Sarmin.
“ Penipu, kalau
ada orang lain yang datang kenapa tumpukannya hanya ada lima?” Pak Marto
kembali tersulut amarah.
Beberapa saat, suasana hening. Lalu, lamat-lamat para warga saling
pandang.
“Benar pak RT, tumpukannya cuma ada lima.” Suara dari
kerumunan warga di halaman tiba-tiba ikut nyelonong.
“Jadi bagaimana, pak Sarmin?” tanya pak RT
lagi. Pak Sarmin hanya diam seolah menahan perih yang teramat di dalam hatinya.
“Maling kurang
ajar!” Nada bicara pak Marto kian
tinggi tinggi. Rahangnya yang kokoh bersuara layaknya sedang
memakan sesuatu yang asam. Matanya melotot dan tiba-tiba prakk. Golok panjang di pinggangnya melayang dan menancap di sudut meja yang
terbuat dari kayu mahoni tua. Retak sedikit. Warga yang berkerumun itu
terperanjat dan serentak hening menyaksikan adegan mengerikan di depan mereka.
“Sudah usir saja, Pak. Desa Mugiharjo selalu damai
kecuali ada maling-maling kotor seperti Sarmin ini.”
“Sabar, pak Marto. Tidak
sepantasnya kita berlaku demikian, ini negara hukum. Tidak boleh main hakim
sendiri, selain itu pak Sarmin ini kan masih saudara sama bapak.” Pak RT dengan
bijak mencoba meluruskan perkara.
“Maling itu gak mungkin maling saudaranya sendiri, Pak.”
Pak Sarmin hanya diam tertunduk.
Matanya tidak berkedip seolah tengah memperhatikan sesosok siluman di bawah sana. Ia bukan hanya merasa terdzolimi,
tetapi merasa dipermalukan kakak kandungnya sendiri. Hatika hancur tanpa sisa.
Seketika ia terkenang pada masa
kanak-kanak. Ia adalah bungsu kebanggaan orang tua. Bukan hanya sikapnya yang
santun dan suka membantu, prestasi yang diraih di Sekolah Rakyatnya juga kian
membuat bangga. Berbeda dengan karakter Sarmin, Marto yang merupakan kakak
pertamanya terbilang nakal. Selain suka tidur, ia juga beberapa kali ketahuan
berkelahi. Bertolak dari sarmin kecil yang santun dan cermerlang, hidup berjalan
bagai misteri. Ia hanya menjadi petani sederhana dengan seratus ubin sawah saat
kakaknya menjadi tokek kaya raya di desanya.
***
“Pak, kami yang
salah pak.” Tiba-tiba dua orang mncul dari kerumunan.
“Memang kami yang salah tempat tadi malam, tapi
karena kang Sarmin sudah terlanjur turun. Jadi kami memutuskan untuk pergi
tanpa bilang apa-apa.” Semua mata tertuju pada dua lelaki paruh baya itu.
“Keparat!!!” Pak Marto
beranjak dari kursi panjang yang saling berhadapan. Mengeloyor keluar lewat kerumunan warga dengan menahan malu.
Sedang golok panjangnya dibiarkan begitu saja menancap di sudut meja.
TAMAT
0 Response to "Short Story- Salah paham"