Metropolitan, kota
yang sarat akan mobil-mobil mewah dan gedung pencakar langit yang berdiri begitu
megah. Di antara gedung
yang berpuluh-puluh tingakat itu, orang-orang berpakaian
rapi, berdasi lengkap dengan jas dan sepatu kulitnya. Ada ratusan kursi
empuk yang ditata melingkar dan berjajar. Para anggota dewan itu beradu teriakan dengan suara
yang jauh dari kesan elegan. Sibuk berdiskusi untuk menghasilkan sebuah kebijakan.
Di sudut kota, gubuk-gubuk kecil
berjajar layaknya bukit sampah. Anak-anak setengah telanjang berlarian dengan riang di tepi
sungai yang airnya menghitam oleh limbah. Bau busuk yang begitu menyengat tidak
menyurutkan kebahagian yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Wajah yang
seolah tidak peduli pada sadisnya kehidupan. Mereka tidak
pernah mengerti seberapa dalam mereka telah tenggelam dalam lautan kemelaratan.
***
Seorang anak
laki-laki dengan kaos setengah lengan muncul dari balik bukit-bukit sampah yang
berjajar di tepi jalan itu. Dengan kali telanjang, ia terus
berlari. Seolah tidak peduli pada
kerikil-kerikil tajam yang sesekali melukai, pandangannya terus ke depan.
Matanya memancarkan binar keyakinan. Itulah engkau. Lelaki ingusan yang selalu yakin pada kebahagiaan
masa mendatang. Dasar bodoh, kebahagiaan macam apa yang akan kau dapat kalau
kau saja tak bisa mengenyam nikmat pendidikan?
“Sudah siap?” Tanyamu sembari
merangkul pundakaku. Bau badanmu yang busuk terasa menusuk syaraf-syaraf indera
pembauku. Barang kali
sudah dua hari bajumu tidak dicuci. Dasar
jorok, gummku dalam hati.
“Tentu, hari ini kamu janji mau ngasih tahu tempat rahasia itu
kan?” Jawabku dengan sedikit
sebal. Bagaimana tidak, kau sudah membuatku menunggu lebih dari setengah jam
lamanya.
Tanpa sempat menjawab, kau langsung
menyaut tanganku. Menyeretku berlari dengan kecepatan tinggi. Dan bodohnya lagi,
kau coba menyamakan langkahku dengan kecapatanmu berlari. Apa kau lupa kalau
aku anak perempuan juga?
“Cepetan!” Serumu dengan sesekali
kau menoleh ke arahku. Barangkali kau takut kalau aku akan tertinggal oleh ayunan kakimu yang
seperti kancil itu.
“Aku capek, istirahat dulu yuk”
Kau menghentikan ayunan
kaki, berhenti di samping sebuah gedung pabrik tua. Gedung
itu sudah lama tidak dipakai. Desas-desus yang beredar di masyarakat
sekitar menyebutkan
bahwa gedung ini cukup angker karena beberapa kali terjadi
pembunuhan karyawannya. Meski
berkali-kali mencoba diselidiki, tidak pernah diketahui motif dan pelakunya.
Mati dengan tidak wajar, katanya.
Bulu
kudukku seakan hendak melompat dari pijakannya. Terasa hawa dingin berhembus lewat lubang-lubang
kecil di daun pintu yang sudah lapuk. Dan dengan kejailanmu, kau lebarkan lubang itu menggunakan
kelingkingmu, mengintip untuk memastikan apa yang ada di dalam geduang tua itu.
“Waaa!” Teriakmu membuat tubuhku
sontak terperanjat. Hampir saja aku mati kau buat. “Ketipu.” Kau menunjuk-nunjuk
wajahku yang merah padam. Kita tertawa terbahak sebelum akhirnya kembali beranjak.
Setelah cukup panjang berjalan, akhirnya
ayunan langkah mengantarkan kau dan aku di depan sebuah perempatan jalan. Jalan
yang luasnya kurang lebih sama dengan luas rumah kita. Kendaraan bising
berlalu-lalang di bawah terik yang terasa membakar kulit. Matahari terlihat sudah tepat
di atas
kepala.
Kita duduk di sebuah bangku kecil di
depan perempatan, menyaksikan roda mobil yang berputar layaknya gasing. Kau
tunjuk-tunjuk tiap ban mobil yang hampir semua mereknya kau tahu. Kau memang berotak cerdas meski
jarang sekali berkesempatan makan ikan. ” Dunlop, Bridgeston, Falken, Yokohama...” Kau
menyebutkannya satu-satu.
Diseberang jalan, beberapa
orang terlihat hendak menyeberang. Tepat di depan mereka berdiri, garis
hitam putih tertata
rapi. Traffic lights di sisi jalan perempatan berganti nyalanya. Hijau, kuning hingga kemudian merah.
Semua kendaran sekejap berhenti di
belakang garis hitam
putih itu. Karena sedikit saja melanggar, dua bulan kurungan atau denda
sejumlah uang siap sedia mengancam. Beberapa orang yang
berdiri di seberang mulai
berjalan. Dan tentu inilah saatnya kita beraksi.
“Ini pegang” Katamu sambil kau keluarkan gelas bekas minuman dari dalam tas kumalmu. Tak
lupa, kau keluarkan rincingan tutup sirup yang telah dipipihkan.
“Aku yang nyanyi, kamu bagian yang narik” Katamu lagi. Aku hanya
menganggukan kepalaku tanda menyetujui usulanmu.
Kita mulai bergerak, kau memukulkan
rincingan ketanganmu, bunyinya bergemerincing membentuk nada-nada dengan sempurna. Kau
bernyanyi lagu khas anak jalanan. Nada dan suaramu menyatu sangat padu.
Indah hingga membuat beberapa pengendara terhenyak mendengarmu. Tugasku mengacungkan gelas
kepada para pengendara dengan sesekali aku ikut bernyanyi.
“Hey ini.” Seseorang memanggil dari dalam mobil sedan mewah. Laki-laki
berkulit putih itu mengacungkan uang kertas sepuluh ribuan. Di kota ini memang banyak
sekali orang-orang berkulit putih sepertinya. Bahkan mereka lah yang mendominasi
perekonomian. Kalau seperti itu, mereka yang terlalu pintar atau kita yang
terlalu pasif?
Faktanya, kita seolah telah menjadi hamba di istana
sendiri.
“Terimakasih, Pak.” Teriakku dengan gembira. Kaca mobil tertutup perlahan. Wajahnya menghilang
di balik
kaca hitam.
Hanya berselang 27 menit, lampu kembali
berubah nyala. Sesaat kuning kemudian merah. Kita berlari di antara barisan kendaraan
roda dua dan empat yang perlahan mulai merayap. Kau menyeberang
di depanku dengan sangat lincah, menyalip kendaraan-kendaraan itu. Sedang aku
yang tak cukup pintar dalam urusan menyeberang, terjebak di tengah
jalan. Kendaran mulai lancar berjalan membuatku semakin ketakutan.
“Cepat lari!” Teriakmu. Beberapa orang pengendara memandangiku dengan pandangan sinis. Mata-mata
yang terpasang di wajah yang terlihat kusam karena terik mentari seolah menjadi
jilatan lidah api yang perlahan membakar wajahku.
“Aku nggak bisa.” Jawabku seadanya. Aku semakin panik seiring volume kendaraan yang kian padat. Simpang-siur di depan
dan belakangku, seolah tak ada sedikitpun celah untuk berlari kearahmu. Keringat dingin mengujur di dahiku,
jatuh ke pipi, hidung dan bibirku.
“Lari sekarang!” berkali-kali kau memberi komando, tapi aku masih terpaku. Seolah ada beban
berton-ton beratnya yang membuatku tak punya cukup tenaga untuk dapat mengangkatnya.
Dari kiri dan kananku kendaraan berlalu-lalang
dengan kencangnya, suara klakson mulai beradu di telingaku. Seorang ibu
pedagang nasi di seberang perempatan menjerit ngeri ke arahku. Namun tetap saja,
tak ada yang dapat aku lakukan. Beban di kakiku terlalu berat untuk ku
taklukan. Kemudian kau berlari meraih tanganku, menariku ke tepi jalan. Sebuah sepeda
motor milik tukang pos yang melaju dengan kecepatan tinggi hampir saja menabrak
kita. Motornya oleng dan sedikit menabrak trotoar jalan.
“ Brengsek, mau mati ya.” Teriak lelaki berseragam orange itu.
“ Maaf, Pak” Katamu. Beberapa kendaraan berhenti dan merubung tukang pos itu.
Kita yang takut kalau lelaki itu
akan mengejar, lari terbirit-birit. Bersembunyi di balik bekas ruko orang-orang
Tionghoa.
Di teras-terasnya, beberapa gelandangan berbaring dengan alas koran bekas. Berjajar
seperti ikan asin yang dijemur di pinggiran pantai. Sebagian berselimut dengan
kain sarung yang sudah kumal, sebagian lagi hanya memakai pakaian compang-camping
dan kaki telanjang, meringkuk. Beberapa tangan nampak bergerak mengusap wajah dan menggaruk
badan. Sadar bahwa gelak tawa kita mengganggu tidur mereka, kusumpal mulutmu
dengan telapak tanganku.
Dan kau masih tertawa tertahan. Tubuhmu tampak
bergetar-getar.
“Ayo kita hitung saja uang kita” Katamu kemudian. Kau
keluarkan bundalan uang dua ribuan yang diikat dengan karet dari tasmu. Lalu ku keluarkan
juga gelas minuman dari dalam tasku.
”Ini sudah pas” Katamu.
Seorang anak kecil
berjalan mendekat, denga kaki yang telanjang dan pakaian compang-camping yang
bau. Rambutnya tampak gembel oleh debu. Barang kali sudah beberapa bulan
rambutnya tidak dikeramas. Perlahan tangnnya yang mungil terulur ke depan wajahmu.
“Ini, Dek. Beli makan ya” Katamu kemudian
sembari menyodorkan seluruh keping receh milik kita.
“Gimana kalau uangnya jadi kurang?” Aku sedikit geram melihat
ekspresi wajahmu yang santai bak seorang malaikat. Kenapa pula kau malah
memberikan semuanya, apa bedanya
dia sama kita? Sama-sama gembel, batinku.
“Pas, percaya saja, pasti uangnya pas” Kau coba meyakinkan. Aku
masih menekuk mukaku. Lalu, kau menggelitik perutku, aku tertawa dan kaupun sama.
Kita berjalan lagi, tak berapa jauh kau berhenti.
“Ini dia tempatnya!” katamu
dengan ekspresi yang sumringah kau menunjuk sebuah toko burger. Aku tersenyum
haru. Kau menepati janjimu.
“Bu, pesan dua dibungkus ya.” Katamu. Setelah selesai membayar kita
kembali ke samping ruko itu. Kita saling tertawa sebelum sejenak suasana
menjadi riuh. Para gelandangan itu mulai bangun dengan tergesa-gesa.
“Operasi-operasi” Teriaknya. Gelandangn itu berlari mondar-mandir, barangkali pikirannya belum sepenuhnya
kembali setelah baru saja berlayar ke lautan mimpi. Lalu, suara jeritan anak kecil terdengan dari kejauhan. Dari
arah jalan raya beberapa laki-laki berseragam hijau kusam dengan topi dan
sepatunya berlari. Sebagian dari mereka berada di atas sebuah pickup yang hanya beratap terpal saja. Kau menarikku untuk bersembunyi.
“Ini, kau sembunyi di kardus itu, cepat.” katamu sambil
memberikan kantong plastik berisi burger itu. Aku masuk kedalam kardus bekas
barang elektronik. Sedang kau, berlari ke belakang ruko-ruko.
“Jangan lari, Brengsek!” Salah satu lelaki itu berteriak dengan keras. Beberapa gelandangan
terlihat sudah tertangakap dan dinaikan ke atas mobil bak terbuka
itu. Pengemis kecil yang kau beri uang recehpun tak luput dari amukan petugas berseragam itu. Ia menangis, menggigit tangan petugas, tapi tangan yang kekar itu berhasil
menamparnya.
Suasana mulai tenang, tak ada lagi
suara tangisan ataupun perlawanan di atas mobil petugas. Samar-samar terdengar di telingaku seretan
sepatu yang berirama, seolah membentuk nada-nada lagu yang biasa kau nyanyikan
bersamaku. Kian lama kian terasa mendekat dan suaranya semakin jelas masuk ke rongga dalam
telingaku. Tubuhku mengigil, lidahku kaku, dan nadiku terasa membeku. Darahku tak dapat
mengangkut oksigen ke seluruh tubuhku. Akibatnya, ribuan sel-selku mati. Aku pasti sudah mati. Pikirku.
“Hey petugas dungu!” Tiba-tiba suaramu membuatku terperanjat, seolah mengembalikan lagi
nyawa yang telah melayang beberapa saat. Aku merasakan hidup kembali. Aku mengintip
dari lubang kecil di dinding kardus, kulihat petugas itu berbalik arah,
mencari sumber suara. Betapa bodohnya kau, kulihat kau berlari memasuki gang kecil yang
berkerikil. Sekejap aku menyadari bahwa kau sengaja mengalihkan perhatiannya.
Kau terus berlari di depan mata-mata
yang telah lebam di atas mobil pick up itu. Tanpa kau
sadari petugas lain menghadangmu, siap menangkapmu. Naas, ayunan kakimu yang lincah itu tak
selebar langkah kaki dua lelaki dewasa itu. Bajumu teraih oleh tangan salah seorang petugas.
Kau meronta sekuat tenaga, menendang, menggigit tapi lagi-lagi kekuatanmu tak
dapat menandingi lelaki itu. Kulihat kau dipukul, ditampar, terpental dan
kau terkapar tak berdaya. Diseretnya tubuhmu yang cungkring itu ke atas mobil
terbuka itu. Hatiku terasa perih, layaknya luka basah yang menganga dan disiram
dengan air garam. Betapa menyakitkannya
melihatmu pergi bahkan tanpa sedikitpun aku berusaha menahan. Aku merintih.
Perlahan mesin
dibunyikan kemudian melaju
secepat kilat. Kau pergi bersama senyuman tenang di atas mobil itu. Derunya kian
menghilang bercampur bisingnya kota metropolitan. Sementara tubuhku masih
mematung di dalam kardus besar ini. Kantong plastik berisi dua buah burger masih
kugengam erat. Inilah hadian terakhir darimu, teman kecilku.
0 Response to "Hadiah Terakhir Itu"