Gemuruh



Sambungan telepon tiba-tiba terputus.
"Barangkali signal di handphone-ku yang tidak terlalu bagus. Atau operatornya yang lagi gangguan. Atau jangan-jangan...." hatiku tiba-tiba gelisah. Ku coba menekan-nekan pad ponselku sekali lagi. Namun tetap sama.

Sedang diluar jangkauan” Jawabannya. Memang tidak biasanya orang rumah meneleponku sepagi ini. Dan parahnya, tidak banyak kata-kata yang sempat diucapkan adikku dari kejauhan sana.
Kubuka daun jendela kayu dari dalam kamarku. Bunyi tarikan selot membangunkan beberapa katak yang sedang bersemedi di bawahnya. Mungkin mereka sedang berpura-pura tidur untuk mengecoh para nyamuk. Setelah nyamuk lengah, maka dengan licah katak itu seketika menyaut nyamuk yang berterbangan di atas kepalanya.
Ku pandang sekeliling masih cukup gelap, namun awan telah menjingga. Dari kejauhan terdengar samar-samar lantunaan merdu ayat-ayat Alqur’an. Kulipat mukena putih bermotif bordir bunga-bunga. Warnanya putih bersih, karena sebulan sekali kurendam dengan larutan pemutih pakaian. Mukena berbahan katun ini pemberian kakak laki-lakiku taun lalu. Bukan kado ulang tahun ataupun hadiah atas kelulusanku, melainkan agar aku lebih rajin sholat, katanya. Sementari, kegelisahaanku masih menari-nari dalam otak.
Aku harus pulang hari ini juga, toh aku sedang libur semester jadi tidak ada alasan untukku menundanya lagi. Begitu hari mulai terang, akan segera kubeli sedikit oleh-oleh dan membereskan beberapa helai pakaianku untuk kubawa pulang. Pikirku.
***
Setelah kudapatkan selembar tiket kereta Gajayana jurusan Malang-Jakarta, Aku siap untuk menunggu kereta kelas eksekutif itu datang. Aku duduk di deretan bangku yang memanjang di depan loket. Di hadapannku berlalu-lalang pedagang kaki lima yang mengendong barang dagangannya. Menjajakan pada setiap  pengunjung stasiun yang dijumpainya. Tak berapa lamanya aku menunggu, pemberitahuan dari speaker diatas tempatku duduk berbunyi. Kereta datang.
“Gerbong nomor dua mbak” Seorang petugas berpakaian putih bersih menunjukan gerbongku sesuai petunjuk di tiketku. Petugas itu kemudian membantuku mengangkatkan kardus berisi oleh-oleh khas Malang dan ransel hitam sedang milikku.
“Pantas aja tiketnya mahal, dalamnya memang bagus” Gumamku.
 Aku berjalan disepanjang lorong gerbong. Mataku menelisik tajam mengamati deretan nomor yang tertera di samping atas bangku-bangku. Dan benar saja, pada baris keempat dari kursi paling depan kutemukan nomor kursi bertulis 2A. Sama persis dengan yang tercetak diselembar tiket ini. Aku meletakan ransel dan kardusku di tempat berbentuk persegi tepat diatas kepala seorang pria.                                          
“Permisi, boleh lewat mas?” Tanyaku pada pria itu. Mungkin usianya sekitar tiga puluhan. Ia duduk tepat bersebelahan dengan kursiku. Barangkali nomor kursinya 2B.
“Hem” Dehemnya memberi isyarat.
 Sekujur tubuhku merinding, bukan takut melainkan geli melihat lelaki seketus itu.
            Kusandarkan kepalaku di kursi yang tepat bersebelahan dengan laki-laki itu. Rasanya nyaman sekali setelah sebelumnya aku menunggu cukup lama. Ditambah lagi angkot yang berkode terminal tujuannya itu cukup membuatku merasa sesak. Bagamana tidak? Ketika bangku panjang yang saling berhadapan telah penuh diduduki. Sang sopir masih saja asyik menaikan penumpang yang berdiri di pinggir jalan. Maklumlah mereka kan harus kejar setoran.
Tak selang begitu lama seorang pria muda dan gadis belia mendekat ke kursi kami. Mata mereka berpindah dari deretan nomor kursi, kemudian ke kertas warna merah muda di tangannya. Mungkin kursi mereka bernomor 2C dan 2D. Benarsaja, tanpa memberi senyum basa-basi tubuh mereka langsung ambruk dikursi itu. Aaaah. Desahnya membuatku geli.
            Kini sebagian besar bangku telah memiliki penghuni. Rak tas diatas setiap bangku juga telah penuh oleh barang bawaan para penumpang. Dan pedagang kaki lima yang sejak tadi berlalu lalang di lorong gerbongpun sudah menghilang. Penumpang telah duduk dengan rapi mempersiapkan perjalan panjang yang baru akan dimulai. Sebagian besar dari mereka berasal dari Malang dan menuju kota-kota yang menjadi jalur kereta ini. Contohnya aku. Aku dari Malang hendak pulang ke kampung halamanku di bagian paling barat provinsi Jawa Tengah. Hanya beberapa saat kemudian, seorang petugas berseragam rapi  lengkap dengan topinya meniupkan peluit bersamaan dengan dikibas-kibaskannya bendera kecil di tangannya. Memberi kode pada lokomotif yang berada di kepala kereta. Tuuuuuut. Bunyi panjang kereta terdengar, pertanda bahwa kereta segera berangkat. Gesekan roda kereta dengan rel mendenging dengan keras. Kemudian getaranya terasa di sekujur tubuhku.
***
 “Bu, mana tiket dan KTPnya” Lagi-lagi petugas bertubuh gagah tegak dan berseragam menghampiriku.
“Ini pak”  Kusodorkan  kertas tiket beserta KTM biru milikku. Dicocokannya tiket dengan KTMku. Memastikan bahwa aku bukan penipu yang memalsukan identitas. Kemudian dilubangi selembar tiket itu dengan pelubang kertas dan menyodorkannya kembali kepadaku. Menganggukan kepala dan menyunggingkan senyum manis.
            Giliran pasangan muda-mudi yang duduk tepat dihadapanku. Mulanya kupikir mereka adalan saudara, namun ketika si gadis belia melendot dengan manja pada pundak si lelaki, aku jadi menyimpulkan kalau statusnya berpacaran. Kalau dugaanku tidak meleset si gadis masih SMA. Aaah, dasar anak jaman sekarang. Orang tua susah payah memeras keringat demi sekolahnya, namun dia malah bermesraan dan mengumbar rayuan murahan yang mengatasnamakan cinta. Tahu apa dia tentang cinta. Gak tahu malu.
“Ini mas” Petugas itu sudah selesai memeriksa dan mengembalikan lagi tiket mereka. Sedang lelaki cetus disampingku itu adalah yang pertama tiketnya diperiksa.
***
            Kereta telah melaju beberapa jam sejak meluncur dari stasiun tempatku membeli tiket sore tadi. Juga beberapa kali berhenti sejenak di stasiun-stasiun yang dilewatinya. Cacing-cacing di perutku seolah sedang berdemo, menuntut untuk diberi sedikit santapan. Kubuka tas plastik hitam kecil berisi beberapa lontong dan mendoan milikku.
Monggo mbak, Mas” Kusodorkan tas plastik itu pada laki-laki di sampingku juga pasangan di depanku itu. Hening. Tak ada jawaban. Kemudian karena sadar bahwa aku dengan lahap memakan bekalku, gadis itu menegakan kepala.
“ Mana rotinya tadi sayang?” Dengan gaya sok imut dan manja gadis itu bertanya pada kekasihnya.
            Kereta api kelas bisnis jurusan Malang-Jakarta ini telah membawaku menelusuri rel sepanjang ratusan kilometer. Bertemu dengan banyak jembatan besi yang menciptakan bunyi gesekan kereta dan rel semakin keras, layaknya cekingan kampret-kampret di malam hari. Laki-laki ketus yang duduk di sampingku telah turun sejak kereta ini sampai di stasiun Balapaan Solo. Sedang pasangan kekasih itu turun di stasiun Jogjakarta. Tak tau dari mana atau hendak kemana pasangan tersebut tapi bagiku sangat memuakan.
            Sebagian kursi penumpang telah kosong. Namun kursi-kursi yang kosong itu kembali terisi, ketika beberapa orang naik dari stasiun lain di jalur ini.
“Mbak sampeyan turun di mana toh?” seorang tukang sapu tiba-tiba membuatku terperanjat kaget.
“Saya turun di stasiun Banjar....” Jawabku.  Bingung akan kusebut apa lelaki itu. Mas, aku kira umurnya sudah diatas tigapuluhan. Dan kalau bapak, aku takut ia tersinggung, pasalnya belum tampak sebatangpun rambutnya yang memutih. Dari logat bicara sepertinya orang Solo.
***
            Aku tlah sampai distasiun terdekat dari rumahku. Entah bisa dibilang dekat atau justru jauh. Nyatanya stasiun ini berbeda provinsi dan membutuhkan dua jam perjalanan untuk bisa sampai ke rumah. Stasiun ini cukup besar, namun dindingnya yang bercat putih hampir penuh dengan coretan pilok berwarna-warni. Isinya tentang sumpah serapah dan kutukan kepada pemerintah yang tidak pecus mengurus negara, koruptor, bahkan kata-kata kotor yang sangat tidak layak dibaca. Kalau sudah seperti ini siapa yang mesti dipersalahkan? Orang-orang tidak bertanggung jawab yang mencoret-coretnya atau bahkan pemerintah yang tidak membuat peraturan yang tegas? Aaah ujung-ujungnya masyarakat sendiri yang rugi.
***
“Pak Wonorejo berapa” Tanyaku kepada gerombolan tukang ojek yang sedang bermain kartu di pangkalannya.
“Lima puluh mba” Sahut salah seorang sambil masih sibuk menata kartu di tangannya.
“ Kok mahal banget, Pak. Kurangi lah saya kan gak dari Jakarta”
“Duh Mbak, lima puluh dapat apa? Harga BBM semakin melambung tinggi, tukang ojek seperti kita ini yang menjerit” Bapak yang duduk di ujung menjawab.
Giliran bapak yang tertua ikut antusias
“Belum lagi kalau naikin tarif, diprotes sama penumpang. Katanya cari untung terlalu banyak, padahal cuma pas-pasan buat beli bensinnya.” Yang lain menambahi. Apa hubungannya denganku? Aku kan cuma mau ngojek kok malah jadi sasaran kekesalan para tukang ojek ini. Toh aku gak ada hubungannya sama kenaikan harga BBM. Batinku
“Iya benar, istri saya saja suka mengeluh,  harga kebutuhan semakin mahal tapi uang belanja semakin berkurang. Belum lagi biaya anak sekolah” Bapak yang duduk tepat di depanku tidak mau ketinggalan.
“ Kalau begitu empat lima ya, Pak” Aku coba memutus diskusi itu. Sejenak diam, para tukang ojek itu barang kali sedang berunding siapa yang akan mengatarku.
“Ayo mba empat lima” Salah satu dari mereka berdiri. Meletakan kartunya dan men-start motor Smash birunya. Mengantarku pulang.
***
“Mbakyumu pulang, Mes” Seru seorang anak kecil sambil berlari kearah gadis limabelasan. Gadis itu adalah adikku. Kulihat adikku sudah melebihi aku tingginya. Dua tahun terakhir ini aku memang tidak pulang ke kampung halaman.
            Aku baru saja tiba di depan gang kecil menuju rumahku. Di bibir gang beberapa ibu sedang duduk bergerombol. Tak jelas apa yang sedang dikerjakan. Barangkali sedang menggosipi tiap orang yang lewat di depan mereka. Sungguh hal yang tidak berguna. Gumamku dalam hati.
“War kamu baru pulang? Dengar-dengar kamu disana sekolah lagi ya?” Tanya seorang wanita paruh baya yang sedang menyapu halaman.
”Iya, Yu”.
“Sekolah apa disana, kamu kan udah lulus SMA” Nenek tua yang bertubuh gempal itu tiba-tiba menyela. Bola matanya melirik ke kiri-ke kanan seolah mengejek.
“ Aku kuliah, Ni” jawabku.
“ Alahh, kuliah juga nanti ujung-ujungnya masak di dapur, ngurus anak dan suami” celotehnya lagi. Aku diam saja. Membiarkan kata-kata itu mengalir begitu saja.
“Cucuku kerja di Jakarta, setiap bulan bisa ngirim ke mamaknya, sekarang malah yang mbiayai adiknya sekolah” Sambung nenek itu lagi. Aku hanya tersenyum kecut.
“Ya memang harusnya kayak gitu, Ni. Masih kecil disekolahin, udah gede gantian bantu orang tua. Bukananya nyusahin sampe tua” Dengan mata melirik ke arahku seorang ibu yang merupakan tetangga terdekat rumahku menambahi. Lirikannya seolah silet tajam yang mengiris ulu hati.
“War, si Erni teman sekolahmu udah punya anak loh. Kapan kamu kawin?” Tanya seorang ibu yang sedang menyuapi makan anaknya.
“Oh, soal itu naanti lah, Wa. Masih pingin meniti karir dulu” Jawabku
“Loh hati-hati jangan terlalu santai nanti gak kebagian kamu” Katanya lagi. Sejenak suasana sedikit mencair oleh tawa.
“Makanya, War, jangan terlalu pilih-pilih, nanti yang ada kamu kapiran, jadi perawan tua deh” Nenek gemuk itu kembali bersuara. Nadanya yang setengah mengejek memang selalu menaikan pitamku.
“War, War kamu dilamar si Diman yang udah pegawai negeri gak mau. Cari yang kayak apa lagi? Orang miskin kaya kita mah gak usah mimpi yang muluk-muluk” Tiba-tiba kalimat-kalimat itu keluar dari mulut salah seorang ibu dalam gerombolan tersebut. Seketika darahku naik hingga ke otak. Menyebar ke milyaran sel-sel tubuhku, Kemudian merangsangnya untuk mengirim respon ke sebagian inderaku.
 “Wah kurang kerjaan sekali sampeyan, sampai-sampai memperhatikan aku sebegitu detailnya” bibirku seolah bergerak dengan sendirinya. 
Hawa panas yang mulai terasa di kulit pun nambahi kekesalanku. Kalimat yang baru saja kudengar layaknya duri yang terselip di dasar hati kemudian menusuk. Perih sekali. Dengan senyum getir aku berjalan menjauh dari gerombolan itu. Kemudian bisik-bisik mulai terdengar bagai gemuruh petir di siang hari.
“Anaku sudah pulang.” Seorang lelaki tua muncul dari balik pintu gubuk sederhana di hadapanku. Ya, itulah surgaku.
Kurengkuh lelaki tua itu tanpa membuang waktu. Wajahnya redup namun tenang. Guratan-guratan keriput kini sudah terlihat kian jelas di sekitar mata dan dahinya yang seolah menjadi bukti sejarah tentang perjuangan keras untuk hidup anak-anaknya. Sebagian besar rambut yang dulu hitam kini telah memutih. Kuciumi kedua pipi yang keriput itu. Kurasakan tetesan air suci menyirami hati yang gersang karena kerinduan. Aku selalu merindukanmu, Bapak.

                                                                                                Malang, 2 Januari 2014

0 Response to "Gemuruh"