Wajah Itu



Minggu. Ada dua anggapan tentang hari matahari ini yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat bumi. Satu kubu menganggap Minggu artinya hari pertama dalam sepekan, kubu yang lain beranggapan Minggu adalah hari ketujuh di tanggalan. Tetapi satu hal yang pasti, Minggu artinya kebebasan.

Ya, kebebasan itulah yang barangkali juga tengah dirasakan para mahasiswa sore ini. Terbebas dari beban mengikuti perkuliahan, banyak dari mereka yang memilih beruni di pendopo seluas 20x20 meter ini. Sebagian dari mereka sibuk memainkan gadget sembari bergurau dengan sahabat. Ada pula yang tampak menunggui kawan seperti yang sekarang tengah kulakukan.

Sepuluh menit berlalu sejak aku sampai di depan ruang sekretariat ini. Tetapi entah apa yang terjadi, tak ada satupun teman yang datang menghampiri. Untuk kesekian kali aku membuka riwayat obrolan WhatsApp, memastikan kalau-kalau memang ada pengumuman latihan sore ini diliburkan. Berkali-kali pula aku menghunungi Yoko, satu teman yang biasanya paling bersemangat latihan, dan hasilnya nihil.

Aku mulai jenuh menunggu dan hampir memutuskan pulang saat tiga sosok pria muncul dari sela-sela besi pagar di kejauhan. Sejurus kemudian, pria-pria itu membelok masuk melewati gerbang. Di antara mereka bertiga, ada satu sosok yang begitu akrab dengan kornea mataku. Tak salah lagi, itu dirimu, pelatih seram yang sudah dua kali membuatku menangis tertahan.

“Mana yang lain?” kata salah seorang dari mereka.
“Belum datang, Mas.” 

‘Mas’ adalah panggilan yang dipakai untuk menyapa para pelatih kami. Sebenarnya panggilan itu diambil dari kata ‘kangmas’, sapaan yang lazim dipakai masyarakat Jawa yang artinya kakak laki-laki. Berhubung untuk lebih memudahkan pengucapan, ‘mas’ saja sudah cukuplah.

Belum lagi mereka sempat duduk, aku buru-buru bangkit mengajak bersalaman. Jabat tangan memang menjadi hal sederhana yang diajarkan sejak pertama kali aku bergabung di latihan ini. Tak ada maksud lain kecuali demi rasa persaudaraan. Ah, mana mungkin rasa persaudaraan dibangun dalam situasi sarat kecanggungan. Pikirku.

“Yang telat biar saja telat, ayo siap-siap!” Ajakmu pada kami, aku dan dua pria tadi.

Dalam hal kedisiplinan, kau juaranya memang. Kau seolah paham betul bahwa yang tepat waktu perlu diapresiasi, sementara yang terlambat patut dapat sedikit sanksi. Kalau yang telat dan tidak diperlakukan sama, bagaimana jadinya generasi Z ini nantinya? Dan pemahaman itu pula yang kuterapkan dalam kehidupanku akhir-akhir ini.

Diawali dengan berdoa, kembali kita saling berjabat tangan memberi penghormatan. Satu wanita dan tiga pria, kita sudah di tengah-tengah area latihan sekarang. Hitungan dua kali delapan terus bersahutan. Kita berbaris melingkar dan melemaskan sendi dari kepala hingga ujung kaki. Beberapa orang di tepian pendopo sesekali melirik kita, barangkali mereka merasa terganggu. Tetapi mau bagaimana lagi, sore ini toh memang jadwal kita memakai area pendopo ini.

Seselesainnya melakukan peregangan, semua anggota latihan berlari bolak-balik dari ujung utara pendopo ke ujung selatan. Gerakan demi gerakan senam lantai pun mulai dilakukan. Iya, namanya juga pemanasan. Semua dilakukan penuh semangat dan tanpa ada keluhan. Begitulah memang yang selalu coba dilatihkan.

Dua pria sejawatmu mulai asyik bertarung dengan patching pad yang sudah disediakan di ujung selatan. Dentuman akibat benturan keras ujung telapak kaki dengan pad itupun terdengar cukup mengerikan. Tak terbayangkan seandainnya aku yang dapat tendangan. Mungkin aku akan jatuh terpental bermeter-meter dan kepalaku pecah berdarah-darah.

Sementara di ujung sini, kau mengajariku gerakan seni. Seni memang menjadi bagian yang sangat penting dalam latihan bela diri ini. Karena kekuatan tanpa keindahan itu seperti menggambar tanpa pola, tanpa rupa dan warna. Terbayang gambarnya seperti apa?

Dengan seksama kau masih sibuk memperagakan gerakan demi gerakan. Sementara itu, mataku tak sedikitpun berhenti mengawasi gerakmu. Mulai dengan awalan berdiri tegak, tangan membuka, melekuk, memukul, menyikut, menendang dan seterusnya. Ah, mengapa pula gerakanmu sedemikian rumitnya.

Aku berkali-kali coba mempraktikkan tetapi tetap tak sesuai harapan. Ada hal yang sangat tak biasa terjadi sore ini, kau mengarahkan gerakku dengan penuh kebesaran hati. Bahkan berkali-kali kau harus rela menjadi barang percobaannya. Dan tentu saja, berkali-kali padangan kita saling bertemu. Tak ada sedikitpun kutemukan rona kemarahan di matamu. 

Tak banyak kata, tak ada omelan. Tak heran kan jika untuk pertama kalinya aku sedikit terkagum dengan kesabaranmu. Bukankah selama ini kau bahkan sering kali menegurku dengan kata-kata yang menusuk ulu hati. Bahkan aku pernah berpikir kau adalah laki-laki dengan potensi KDRT saat sudah beristri nanti. Yah, setidaknya sore ini aku tahu, kau tidak sepenuhnya pria yang sekejam itu.
***
Pagi ini entah sudah Minggu keberapa sejak sore itu berlalu. Sudah banyak hal yang berubah dari kau dan aku. Tak ada lagi kecanggungan, tak ada lagi basa-basi bersalaman. Aku tak perlu lagi cepat-cepat menunduk setiap kali wajahmu dan wajahku beradu seperti dulu. Lihatlah, kini wajah kita tengah bertemu di jarak yang sangat tak seberapa. Mungkin hanya dua jengkal saja, satu jengkal, atau malah hanya beberapa senti. Dekat sekali. 

Hari ini Tuhan dengan caraNya sendiri membuatku bebas memandangi wajahmu, wajah yang tampak begitu lusuh setelah terlelap tak kurang dari 6 jam itu, wajah yang dengan tanpa canggung tersenyum menyapa kornea mataku. Iya, wajah itu hanya beberapa senti dari pandangan, wajah yang dulu terlalu seram untuk sekadar kurindukan.

Untuk suamiku,
Pulau Seram, 16 September 2019

0 Response to "Wajah Itu"